Ekonomi Argentina di Ambang Krisis, Imbasnya Sampai ke Indonesia?

TEMPO.CO, Jakarta - Ekonomi Argentina kini diambang krisis. Penyebabnya, pasar bereaksi negatif atas hasil pemilu pendahuluan, pada 11 Agustus 2019, di negara tersebut yang dimenangi calon oposisi, Alberto Fernandez. Ia mengalahkan calon petahana yang dikenal pro-pasar, Mauricio Macri. Kekalahan ini belum final karena puncak pemilu akan dilangsungkan 27 Oktober 2019. 
Namun atas hasil ini, nilai tukar peso Argentina ditutup melemah 15 persen di level 53,5 per dolar Amerika Serikat setelah anjlok sekitar 30 persen ke rekor terendah pada hari sebelumnya pascapemilihan. Tak hanya itu, saham-saham Argentina termasuk di antara yang membukukan penurunan terdalam pada indeks Nasdaq, dan indeks saham lokal Merval pun ditutup anjlok 31 persen. 
Bank Investasi asal Amerika Serikat, Morgan Stanley menurunkan rekomendasi untuk utang dan ekuitas Argentina dari "netral" menjadi "underweight" serta mengungkapkan perhitungan yang menunjukkan peso bisa jatuh 20 persen lebih dalam. Walhasil pada Selasa kemarin, 3 September 2019, Gubernur Bank Sentral Argentina Guido Sandleris diketahui tengah melakukan negosiasi dengan Dana Moneter Internasional atau IMF terkait dengan revisi target kebijakan moneter untuk September.
Lalu seperti apa dampaknya dan kinerja perdagangan dengan Indonesia selama ini? 
Dua hari setelah hasil pemilu pendahuluan Argentina keluar, Bank Indonesia atau BI rupanya langsung mengumumkan kebijakan intervensi di pasar spot dan pasar domestik mata uang valas berjangka (Domestic NDF) untuk menstabilkan nilai tukar rupiah yang terus terdepresiasi terhadap dolar AS. Depresiasi terjadi akibat sentimen pelaku pasar global setelah anjloknya nilai mata uang Peso Argentina.
"Kami melihat pasar terkejut terutama dengan peristiwa politik di Argentina," kata Direktur Eksekutif Kepala Departemen Pengelolaan Moneter BI Nanang Hendarsah kepada ANTARA di Jakarta, Selasa, 13 Agustus 2019. Namun, nilai tukar rupiah berdasarkan Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) masih menunjukkan rupiah stabil di level Rp 14.200 per dolar Amerika Serikat, sejak 11 Agustus 2019 hingga hari ini.
Di hari yang sama, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati juga berharap pelemahan peso Argentina tidak berdampak besar pada nilai tukar rupiah. Menurut dia, pelemahan peso disebabkan oleh kekalahan presiden petahana yakni Macri melawan Fernandez. "Itu berhubungan dengan ekspektasi dari market mengenai arah kebijakan ke depan, sehingga peso mengalami koreksi yang sangat dalam," kata Sri.
Sementara jika dilihat dari sisi perdagangan, Kementerian Perdagangan mencatat sepanjang 5 tahun, 2014-2018, perdagangan Indonesia selalu kalah dibandingkan dengan Argentina. Di tahun 2014, defisit neraca perdagangan Indonesia dengan Argentina mencapai US$ 1,2 miliar. Angka ini lebih dari separuh total defisit perdagangan Indonesia sepanjang tahun 2014 yang mencapai US$ 2,1 miliar.
Defisit perdagangan dengan Argentina ini sempat membaik di tahun 2017 dengan US$ 891 juta, namun kembali naik menjadi US$ 1,2 miliar di tahun 2018. Namun, kontribusinya pada keseluruhan defisit sepanjang 2018 yang sebesar US$ 8,6 miliar telah menurun. Dari semula 57 persen menjadi hanya 13,9 persen.
Sampai saat ini, belum ada keterangan lebih lanjut apakah situasi ekonomi di Argentina saat ini akan membuat defisit perdagangan ini akan semakin memburuk. Meski demikian, kondisi defisit ini telah disadari oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla sejak 7 Mei 2019, saat menerima kunjungan Gabriela Michetti di Istana Wapres, Jakarta. “Kita masih defisit karena masih membeli hasil pertanian dari Argentina,” kata dia.
Sumber:Tempo.co
Share:

Recent Posts