Jerat Institusi dan Pembajakan Ekonomi

Aulia Keiko Hubbansyah
Pengajar Universitas Pancasila
Pemberantasan korupsi dan supremasi hukum sebagai bagian dari tuntutan reformasi masih belum berjalan optimal. Bukannya mereda, gejala korupsi di Indonesia terlihat lebih marak. Kondisi ini dikonfirmasi oleh data World Governance Index (WGI) dari Bank Dunia, yang memperlihatkan rata-rata nilai indeks rule of law Indonesia selama 1996-2017 adalah -0,62. Artinya, supremasi hukum, yang menjadi jiwa dari negara hukum, masih berada dalam taraf lemah. Di antara negara-negara ASEAN, indeks rule of law Indonesia merupakan salah satu yang terburuk, jauh tertinggal dibandingkan dengan Thailand, Malaysia, Brunei, dan Vietnam, yang sudah mencatatkan nilai positif. Apalagi jika dibandingkan dengan Singapura, yang menjadi salah satu model rule of law terbaik di dunia.
Hal sama juga dapat dilihat pada indeks control of corruption dan regulatory quality, yang rata-rata nilainya -0.74 dan -0.25. Nilai yang negatif, menurut Bank Dunia, menunjukkan kekuasaan publik masih sering digunakan untuk kepentingan pribadi/kelompok, entah dalam bentuk perdagangan pengaruh, suap, atau korupsi kakap.
Ketidakpastian hukum serta birokrasi yang panjang dan berbelit masih menjadi hambatan besar pembangunan ekonomi nasional. Contohnya, pelaku ekspor sampai saat ini berhadapan dengan setidaknya 53 peraturan yang mencakup 2.278 jenis barang. Adapun untuk impor, ada 79 aturan yang mengatur 11.534 jenis barang.
Rantai birokrasi yang panjang dan berbelit ini membuka peluang bagi maraknya praktik pemburu renten. Biaya tambahan ini akan dibebankan pada harga jual produk yang tinggi. Akibatnya, daya saing industri pun sulit ditingkatkan karena sangat tergantung pada efisiensi di sektor perdagangan, terutama ekspor (Ginanjar, 2018).
Dengan keadaan institusi yang belum kondusif, Indonesia akhirnya belum mampu mereduksi praktik kroniisme secara optimal. Praktik yang dianggap sebagai ciri Orde Baru, yang membuat ekonomi menjadi tak efisien, itu ternyata masih menjadi bagian dalam perekonomian nasional sekarang. Hal ini tecermin dari angka crony-capitalism index Indonesia yang memburuk dalam beberapa tahun terakhir, menempati posisi terburuk ke-7 dari 22 negara yang disurvei oleh The Economist.
Untuk memajukan kesejahteraan tak bisa hanya mengandalkan capaian-capaian ekonomi. Faktor-faktor institusi, seperti penegakan hukum, keterbukaan, pemberantasan korupsi, dan kualitas regulasi, sangat penting diperhatikan karena memberi dampak positif yang besar. Sebab, institusi dapat menyediakan struktur insentif yang akan menentukan pola interaksi sosial, ekonomi, serta politik individu dan organisasi.
Frederic Bastiat, ekonom Prancis yang artikulatif, pernah menjelaskan secara sederhana bagaimana institusi menciptakan struktur insentif tersebut. Manusia, menurut Bastiat, dapat memenuhi kebutuhannya dengan bekerja. Namun, pada saat yang sama, manusia juga bisa memenuhinya dengan merampas milik pihak lain. Manusia secara alamiah akan cenderung memilih merampas milik pihak lain karena lebih mudah dan tingkat pengorbanannya rendah. Maka, perampasan tidak akan pernah dipilih hanya kalau merampas lebih menyakitkan dan menyusahkan daripada bekerja.
Dalam konteks ini, adanya institusi berkualitas, seperti aturan dan penegakan hukum yang adil, membuat pengorbanan (cost) yang ditanggung individu dalam melakukan perampasan jauh lebih besar daripada bekerja. Alih-alih merampas, individu justru akan memilih untuk bekerja dan bertindak benar.
Perbedaan kualitas institusi ini menjadi salah satu faktor yang bisa menjelaskan mengapa terjadi variasi kemajuan ekonomi di berbagai negara. Institusi yang buruk, yang menciptakan insentif bagi maraknya korupsi, rezim totalitarian, dan kualitas aturan yang rendah, merupakan faktor utama yang menjelaskan mengapa negara-negara di kawasan Sub-sahara Afrika tidak mampu membangun ekonominya-sebanyak 31 dari 37 negara paling miskin di dunia berada di kawasan ini.
Di sisi lain, institusi yang sangat baik menjadi landasan kokoh pembangunan ekonomi negara-negara Skandinavia. Hampir semua indikator WGI mereka berada pada level yang sangat baik. Bahkan sering menempati posisi teratas. Contohnya, Finlandia, Norwegia, dan Denmark memiliki skor indeks rule of law dan control of corruption tertinggi di dunia, bahkan hampir mendekati angka sempurna +2,5.
Di sana korupsi tidak menjadi hambatan bagi perdagangan atau investasi. Maladministrasi, penyuapan, atau pungutan liar hampir tidak ada. Undang-undang negara-negara Skandinavia mengkriminalkan tindakan suap aktif dan pasif, penyalahgunaan jabatan, penipuan, pemerasan, pelanggaran kepercayaan, dan pencucian uang. Hukum berlaku untuk siapa saja, tanpa pandang bulu. Orang yang ketahuan melakukan salah satu tindakan tersebut akan dikenai hukuman 10 tahun penjara, meskipun tindakan itu dilakukan di luar negeri.
Maka, pemberantasan korupsi di bidang politik, hukum, dan birokrasi harus menjadi kunci yang melandasi upaya perbaikan kualitas institusi di Indonesia. Tanpa dilandasi kerangka institusi yang memadai, upaya perbaikan ekonomi akan lebih sulit dicapai karena struktur insentif yang terbentuk memungkinkan oknum membajak kebijakan publik untuk kepentingan diri dan kelompoknya. Akibatnya, keadaan sosial, politik, dan hukum hanya memberikan dampak negatif bagi upaya pembangunan ekonomi. Program pembangunan pun tidak pernah optimal.
Sumber:Tempo.co
Share:

Recent Posts