Risiko Krisis Ekonomi Global

Tri Winarno
Ekonom Senior Bank Indonesia
Dunia sedang menghadapi peningkatan risiko perlambatan ekonomi. Kalau tidak dapat dikelola dengan tepat, hal ini akan memicu resesi global pada 2020.
Risiko tersebut kebanyakan melibatkan Amerika Serikat. Perang dagang Amerika dengan Cina dan negara lainnya, serta pembatasan migrasi, investasi asing langsung, dan transfer teknologi, akan berdampak negatif terhadap rantai pasokan produksi. Hal ini akan meningkatkan ancaman stagflasi, yaitu perlambatan pertumbuhan yang dibarengi dengan kenaikan inflasi. Risiko perlambatan ekonomi Amerika terlihat semakin nyata setelah stimulus legislasi pajak tahun 2017 telah kehabisan daya dorongnya.
Sementara itu, pasar modal Amerika masih tetap terlihat "berbusa". Ada risiko tambahan yang terkait dengan peningkatan utang baru yang melibatkan negara-negara emerging market, yang portofolio pinjamannya dinominasikan dalam mata uang asing. Dengan kemampuan bank sentral sebagai lender of the last resort yang semakin terbatas, pasar uang yang tidak likuid akan rentan terhadap guncangan dan gangguan lain.
Yang dapat dikategorikan gangguan lain tersebut adalah langkah Presiden AS Donald Trump yang tergoda untuk menciptakan krisis lewat kebijakan luar negeri terhadap negara seperti Iran. Dengan langkah itu, Trump berharap dapat meningkatkan elektabilitasnya di dalam negeri untuk menghadapi pemilihan presiden 2020 tapi berisiko memicu guncangan harga minyak.
Di luar Amerika, ada risiko perlambatan pertumbuhan ekonomi Cina, yang dibebani tumpukan utang, dan beberapa negara emerging market lainnya. Risiko ekonomi dan politik Uni Eropa juga memperkuat kecemasan risiko global. Situasi lebih buruk terjadi di negara maju karena terbatasnya kebijakan yang tersedia jika krisis ekonomi terjadi. Kebijakan moneter dan fiskal serta dana talangan (bailout) terhadap sektor swasta yang diimplementasikan pada saat krisis keuangan 2008 akan sangat terbatas efeknya jika krisis terjadi lagi.
Dari semua risiko di atas, yang paling mencemaskan adalah kebijakan The Fed, bank sentral Amerika. Ini setelah The Fed menaikkan tingkat bunga dalam merespons kebijakan fiskal prosiklikal Trump. Kebijakan fiskal prosiklikal mengikuti pola siklus bisnis: apabila perekonomian sedang berada dalam resesi, pengeluaran pemerintah juga ikut rendah, dan sebaliknya bila terjadi ledakan ekonomi. The Fed akhirnya mengubah arahnya sejak Januari 2019. Ke depan, diperkirakan The Fed ataupun bank sentral utama lainnya akan memangkas tingkat bunga untuk merespons kejutan yang menerpa ekonomi global.
Ketika perang dagang dan potensi kenaikan harga minyak merupakan risiko sisi penawaran, mereka juga mengancam permintaan agregat sehingga menekan pertumbuhan konsumsi karena tarif dan peningkatan harga minyak akan mengurangi pendapatan yang siap dibelanjakan (disposable income). Dengan semakin tingginya ketidakpastian ke depan, pengusaha akan cenderung mengurangi belanja modal dan investasinya.
Di sisi fiskal, negara-negara maju telah menghadapi defisit fiskal dan utang publik yang jauh lebih tinggi dari sebelum krisis keuangan global, sehingga hanya ada ruang sempit untuk melakukan stimulus fiskal. Di samping itu, dana talangan terhadap sektor keuangan akan menghadapi tantangan di parlemen mengingat merebaknya sentimen populis dan keuangan pemerintah yang hampir "insolvent" (tidak memiliki cukup dana untuk melunasi utang).
Di antara risiko-risiko di atas, perang dagang Amerika dengan Cina merupakan risiko terbesar terjadinya resesi, karena konflik tersebut dapat meningkat dengan berbagai cara. Pemerintahan Trump dapat memperluas kenaikan tarif untuk ekspor Cina sebesar US$ 300 miliar, yang sekarang belum diimplementasikan. Amerika dapat melarang Huawei dan perusahaan Cina lainnya memakai komponen Amerika, yang berakibat pada proses deglobalisasi dalam skala penuh, ketika perusahaan-perusahaan tersebut kesulitan mengamankan rantai produksinya. Kalau skenario tersebut terjadi, Cina memiliki beberapa opsi untuk melakukan tindakan balasan, seperti menutup pasarnya bagi perusahaan Amerika, misalnya melarang Apple dijual di Negeri Panda.
Baik Trump maupun Presiden Cina Xi Jinping sadar betul bahwa mereka berkepentingan agar terhindar dari krisis global. Namun tampaknya mereka masih saling melempar retorika nasionalisnya dan membalas tindakan satu sama lain.
Maka, ada harapan besar agar Trump dan Xi melakukan pembicaraan kembali dalam acara Konferensi Tingkat Tinggi G-20 pada 28-29 Juni 2019 di Osaka, Jepang. Tapi, kalaupun mereka setuju untuk memulai negosiasi, kesepakatan di keduanya masih butuh waktu yang panjang.
Sumber:Tempo.co
Share:

Recent Posts