Jerat Institusi dan Pembajakan Ekonomi

Aulia Keiko Hubbansyah
Pengajar Universitas Pancasila
Pemberantasan korupsi dan supremasi hukum sebagai bagian dari tuntutan reformasi masih belum berjalan optimal. Bukannya mereda, gejala korupsi di Indonesia terlihat lebih marak. Kondisi ini dikonfirmasi oleh data World Governance Index (WGI) dari Bank Dunia, yang memperlihatkan rata-rata nilai indeks rule of law Indonesia selama 1996-2017 adalah -0,62. Artinya, supremasi hukum, yang menjadi jiwa dari negara hukum, masih berada dalam taraf lemah. Di antara negara-negara ASEAN, indeks rule of law Indonesia merupakan salah satu yang terburuk, jauh tertinggal dibandingkan dengan Thailand, Malaysia, Brunei, dan Vietnam, yang sudah mencatatkan nilai positif. Apalagi jika dibandingkan dengan Singapura, yang menjadi salah satu model rule of law terbaik di dunia.
Hal sama juga dapat dilihat pada indeks control of corruption dan regulatory quality, yang rata-rata nilainya -0.74 dan -0.25. Nilai yang negatif, menurut Bank Dunia, menunjukkan kekuasaan publik masih sering digunakan untuk kepentingan pribadi/kelompok, entah dalam bentuk perdagangan pengaruh, suap, atau korupsi kakap.
Ketidakpastian hukum serta birokrasi yang panjang dan berbelit masih menjadi hambatan besar pembangunan ekonomi nasional. Contohnya, pelaku ekspor sampai saat ini berhadapan dengan setidaknya 53 peraturan yang mencakup 2.278 jenis barang. Adapun untuk impor, ada 79 aturan yang mengatur 11.534 jenis barang.
Rantai birokrasi yang panjang dan berbelit ini membuka peluang bagi maraknya praktik pemburu renten. Biaya tambahan ini akan dibebankan pada harga jual produk yang tinggi. Akibatnya, daya saing industri pun sulit ditingkatkan karena sangat tergantung pada efisiensi di sektor perdagangan, terutama ekspor (Ginanjar, 2018).
Dengan keadaan institusi yang belum kondusif, Indonesia akhirnya belum mampu mereduksi praktik kroniisme secara optimal. Praktik yang dianggap sebagai ciri Orde Baru, yang membuat ekonomi menjadi tak efisien, itu ternyata masih menjadi bagian dalam perekonomian nasional sekarang. Hal ini tecermin dari angka crony-capitalism index Indonesia yang memburuk dalam beberapa tahun terakhir, menempati posisi terburuk ke-7 dari 22 negara yang disurvei oleh The Economist.
Untuk memajukan kesejahteraan tak bisa hanya mengandalkan capaian-capaian ekonomi. Faktor-faktor institusi, seperti penegakan hukum, keterbukaan, pemberantasan korupsi, dan kualitas regulasi, sangat penting diperhatikan karena memberi dampak positif yang besar. Sebab, institusi dapat menyediakan struktur insentif yang akan menentukan pola interaksi sosial, ekonomi, serta politik individu dan organisasi.
Frederic Bastiat, ekonom Prancis yang artikulatif, pernah menjelaskan secara sederhana bagaimana institusi menciptakan struktur insentif tersebut. Manusia, menurut Bastiat, dapat memenuhi kebutuhannya dengan bekerja. Namun, pada saat yang sama, manusia juga bisa memenuhinya dengan merampas milik pihak lain. Manusia secara alamiah akan cenderung memilih merampas milik pihak lain karena lebih mudah dan tingkat pengorbanannya rendah. Maka, perampasan tidak akan pernah dipilih hanya kalau merampas lebih menyakitkan dan menyusahkan daripada bekerja.
Dalam konteks ini, adanya institusi berkualitas, seperti aturan dan penegakan hukum yang adil, membuat pengorbanan (cost) yang ditanggung individu dalam melakukan perampasan jauh lebih besar daripada bekerja. Alih-alih merampas, individu justru akan memilih untuk bekerja dan bertindak benar.
Perbedaan kualitas institusi ini menjadi salah satu faktor yang bisa menjelaskan mengapa terjadi variasi kemajuan ekonomi di berbagai negara. Institusi yang buruk, yang menciptakan insentif bagi maraknya korupsi, rezim totalitarian, dan kualitas aturan yang rendah, merupakan faktor utama yang menjelaskan mengapa negara-negara di kawasan Sub-sahara Afrika tidak mampu membangun ekonominya-sebanyak 31 dari 37 negara paling miskin di dunia berada di kawasan ini.
Di sisi lain, institusi yang sangat baik menjadi landasan kokoh pembangunan ekonomi negara-negara Skandinavia. Hampir semua indikator WGI mereka berada pada level yang sangat baik. Bahkan sering menempati posisi teratas. Contohnya, Finlandia, Norwegia, dan Denmark memiliki skor indeks rule of law dan control of corruption tertinggi di dunia, bahkan hampir mendekati angka sempurna +2,5.
Di sana korupsi tidak menjadi hambatan bagi perdagangan atau investasi. Maladministrasi, penyuapan, atau pungutan liar hampir tidak ada. Undang-undang negara-negara Skandinavia mengkriminalkan tindakan suap aktif dan pasif, penyalahgunaan jabatan, penipuan, pemerasan, pelanggaran kepercayaan, dan pencucian uang. Hukum berlaku untuk siapa saja, tanpa pandang bulu. Orang yang ketahuan melakukan salah satu tindakan tersebut akan dikenai hukuman 10 tahun penjara, meskipun tindakan itu dilakukan di luar negeri.
Maka, pemberantasan korupsi di bidang politik, hukum, dan birokrasi harus menjadi kunci yang melandasi upaya perbaikan kualitas institusi di Indonesia. Tanpa dilandasi kerangka institusi yang memadai, upaya perbaikan ekonomi akan lebih sulit dicapai karena struktur insentif yang terbentuk memungkinkan oknum membajak kebijakan publik untuk kepentingan diri dan kelompoknya. Akibatnya, keadaan sosial, politik, dan hukum hanya memberikan dampak negatif bagi upaya pembangunan ekonomi. Program pembangunan pun tidak pernah optimal.
Sumber:Tempo.co
Share:

Utang Korporasi Bengkak, McKinsey Ingatkan Potensi Krisis Ekonomi

TEMPO.COJakarta - Konsultan manajemen multinasional McKinsey and Company mengingatkan negara-negara Asia dan termasuk Indonesia untuk mewaspadai terulangnya krisis moneter 1997-1998. Sebab, utang perusahaan-perusahaan di Asia (termasuk Indonesia) telah membengkak sehingga menanggung utang jangka panjang lebih dari 25 persen. 
Dalam laporan McKinsey and Company, disebutkan bahwa korporasi di Australia, Cina, Hong Kong, India, dan termasuk Indonesia menanggung utang jangka panjang lebih dari 25 persen dengan interest coverage ratio (ICR) kurang dari 1,5. Khusus untuk Indonesia, utang jangka panjang dengan ICR kurang dari 1,5 mencapai 32 persen.
Selain itu, tingkat utang Indonesia yang menggunakan mata uang asing berada di angka 50 persen, jauh di atas rata-rata di negara-negara yang proporsinya hanya sebesar 25 persen. Tingginya utang dengan denominasi asing tersebut menyebabkan Indonesia rentan terhadap fluktuasi nilai tukar mata uang.
Kondisi ini tergolong rawan karena artinya korporasi harus menggunakan mayoritas labanya dalam rangka membayar utang. Apabila ditilik per sektor, McKinsey menemukan bahwa 62 persen perusahaan dengan ICR di bawah 1,5 adalah dari perusahaan yang bergerak di sektor utilitas.
McKinsey menilai hal tersebut sebagai hal yang mengkhawatirkan karena kemampuan perusahaan dari sektor tersebut untuk membayar utang memerlukan koordinasi dengan berbagai stakeholder sehingga membuat pengembalian utang semakin kompleks.
Lebih lanjut, 40 persen capital inflow menuju negara-negara Asia merupakan utang berbentu valas.
Terkait permasalahan ini, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan bahwa pihaknya akan terus berkoordinasi bersama Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) untuk memantau sektor perbankan, non-perbankan, hingga korporasi.
"Kalau ada laporan (soal utang), kita akan lihat apakah berbeda dari sisi pembacaan dengan kita. McKinsey membuat laporan untuk keseluruhan Asia dan negara berkembang, jadi kita bisa bandingkan itu," ujar Sri Mulyani pada Jumat 23 Agustus 2019 lalu.
Sumber:Tempo.co
Share:

Faisal Basri: Jangan Anggap Enteng Kondisi Ekonomi Indonesia

TEMPO.CO, Jakarta - Ekonom senior dari Universitas Indonesia Faisal Basri mengkritik pihak-pihak yang hanya menyajikan data-data yang baik mengenai kondisi ekonomi nasional. Seolah-olah kondisi ekonomi baik-baik saja, padahal nyatanya saat ini sebaliknya.
"Menurut saya ini keterlaluan ya, karena menganggap enteng. Gubernur Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan harusnya tahu bahwa sampai sekarang jantung kita masih bermasalah," kata Faisal saat menjadi pembicara dalam acara CNBC Economy Outlook 2019 di Hotel Westin, Jakarta Selatan, Kamis 28 Februari 2019.
Adapun sebelumnya, dalam acara CNBC Economy Outlook 2019 pemerintah lewat Komite Stabilitas Sistem Keuangan hadir dalam diskusi tersebut. Dalam acara tersebut hadir Menteri Keuangan Sri Mulyani, Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo, Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan Wimboh Santoso dan Komisioner LPS Destry Damayanti.
Dalam acara itu, masing-masing pembicara dari KSSK memaparkan mengenai kondisi ekonomi nasional dari berbagai sisi. Dalam kesempatan itu, disampaikan pula berbagai prediksi ekonomi di tahun politik dan stand kebijakan pemerintah.
Dalam pemaparannya, Faisal mengkritik pertumbuhan ekonomi yang cenderung stagnan di angka 5 persen selama hampir lima tahun ini. Ia juga mengkritik masih rendahnya tingkat credit to GDP ratio atau rasio kredit terhadap PDB.
Faisal mencatat saat ini rasio kredit terhadap PDB atau pinjaman bank terhadap PDb terus menurun hingga ke level 40 persen. Bahkan pada 2018 rasio kredit terhadap PDB tinggal 35,2 persen. Angka tersebut masih jauh dibandingkangan Cina yang mencapai 215 persen, Afrika Selatan dan Vietnam yang telah berada di atas 100 persen.
Menurut Faisal, kondisi inilah yang ia sebut mengkhawatirkan. Karena itu, Faisal meminta pemerintah khusunya BI dan OJK untuk melihat lebih jernih dengan cara keluar dari posisinya.
"Bagaimana konsolidasi bank bank yang sekarang masih 115 buah ini? Itu kan yang bapak ibu butuhkan. Jadi jantung kita bermasalah gitu, jadi tolong jangan anggap enteng," kata Faisal Basri.
Sumber:Tempo.co
Share:

Risiko Krisis Ekonomi Global

Tri Winarno
Ekonom Senior Bank Indonesia
Dunia sedang menghadapi peningkatan risiko perlambatan ekonomi. Kalau tidak dapat dikelola dengan tepat, hal ini akan memicu resesi global pada 2020.
Risiko tersebut kebanyakan melibatkan Amerika Serikat. Perang dagang Amerika dengan Cina dan negara lainnya, serta pembatasan migrasi, investasi asing langsung, dan transfer teknologi, akan berdampak negatif terhadap rantai pasokan produksi. Hal ini akan meningkatkan ancaman stagflasi, yaitu perlambatan pertumbuhan yang dibarengi dengan kenaikan inflasi. Risiko perlambatan ekonomi Amerika terlihat semakin nyata setelah stimulus legislasi pajak tahun 2017 telah kehabisan daya dorongnya.
Sementara itu, pasar modal Amerika masih tetap terlihat "berbusa". Ada risiko tambahan yang terkait dengan peningkatan utang baru yang melibatkan negara-negara emerging market, yang portofolio pinjamannya dinominasikan dalam mata uang asing. Dengan kemampuan bank sentral sebagai lender of the last resort yang semakin terbatas, pasar uang yang tidak likuid akan rentan terhadap guncangan dan gangguan lain.
Yang dapat dikategorikan gangguan lain tersebut adalah langkah Presiden AS Donald Trump yang tergoda untuk menciptakan krisis lewat kebijakan luar negeri terhadap negara seperti Iran. Dengan langkah itu, Trump berharap dapat meningkatkan elektabilitasnya di dalam negeri untuk menghadapi pemilihan presiden 2020 tapi berisiko memicu guncangan harga minyak.
Di luar Amerika, ada risiko perlambatan pertumbuhan ekonomi Cina, yang dibebani tumpukan utang, dan beberapa negara emerging market lainnya. Risiko ekonomi dan politik Uni Eropa juga memperkuat kecemasan risiko global. Situasi lebih buruk terjadi di negara maju karena terbatasnya kebijakan yang tersedia jika krisis ekonomi terjadi. Kebijakan moneter dan fiskal serta dana talangan (bailout) terhadap sektor swasta yang diimplementasikan pada saat krisis keuangan 2008 akan sangat terbatas efeknya jika krisis terjadi lagi.
Dari semua risiko di atas, yang paling mencemaskan adalah kebijakan The Fed, bank sentral Amerika. Ini setelah The Fed menaikkan tingkat bunga dalam merespons kebijakan fiskal prosiklikal Trump. Kebijakan fiskal prosiklikal mengikuti pola siklus bisnis: apabila perekonomian sedang berada dalam resesi, pengeluaran pemerintah juga ikut rendah, dan sebaliknya bila terjadi ledakan ekonomi. The Fed akhirnya mengubah arahnya sejak Januari 2019. Ke depan, diperkirakan The Fed ataupun bank sentral utama lainnya akan memangkas tingkat bunga untuk merespons kejutan yang menerpa ekonomi global.
Ketika perang dagang dan potensi kenaikan harga minyak merupakan risiko sisi penawaran, mereka juga mengancam permintaan agregat sehingga menekan pertumbuhan konsumsi karena tarif dan peningkatan harga minyak akan mengurangi pendapatan yang siap dibelanjakan (disposable income). Dengan semakin tingginya ketidakpastian ke depan, pengusaha akan cenderung mengurangi belanja modal dan investasinya.
Di sisi fiskal, negara-negara maju telah menghadapi defisit fiskal dan utang publik yang jauh lebih tinggi dari sebelum krisis keuangan global, sehingga hanya ada ruang sempit untuk melakukan stimulus fiskal. Di samping itu, dana talangan terhadap sektor keuangan akan menghadapi tantangan di parlemen mengingat merebaknya sentimen populis dan keuangan pemerintah yang hampir "insolvent" (tidak memiliki cukup dana untuk melunasi utang).
Di antara risiko-risiko di atas, perang dagang Amerika dengan Cina merupakan risiko terbesar terjadinya resesi, karena konflik tersebut dapat meningkat dengan berbagai cara. Pemerintahan Trump dapat memperluas kenaikan tarif untuk ekspor Cina sebesar US$ 300 miliar, yang sekarang belum diimplementasikan. Amerika dapat melarang Huawei dan perusahaan Cina lainnya memakai komponen Amerika, yang berakibat pada proses deglobalisasi dalam skala penuh, ketika perusahaan-perusahaan tersebut kesulitan mengamankan rantai produksinya. Kalau skenario tersebut terjadi, Cina memiliki beberapa opsi untuk melakukan tindakan balasan, seperti menutup pasarnya bagi perusahaan Amerika, misalnya melarang Apple dijual di Negeri Panda.
Baik Trump maupun Presiden Cina Xi Jinping sadar betul bahwa mereka berkepentingan agar terhindar dari krisis global. Namun tampaknya mereka masih saling melempar retorika nasionalisnya dan membalas tindakan satu sama lain.
Maka, ada harapan besar agar Trump dan Xi melakukan pembicaraan kembali dalam acara Konferensi Tingkat Tinggi G-20 pada 28-29 Juni 2019 di Osaka, Jepang. Tapi, kalaupun mereka setuju untuk memulai negosiasi, kesepakatan di keduanya masih butuh waktu yang panjang.
Sumber:Tempo.co
Share:

Ekonomi Argentina di Ambang Krisis, Imbasnya Sampai ke Indonesia?

TEMPO.CO, Jakarta - Ekonomi Argentina kini diambang krisis. Penyebabnya, pasar bereaksi negatif atas hasil pemilu pendahuluan, pada 11 Agustus 2019, di negara tersebut yang dimenangi calon oposisi, Alberto Fernandez. Ia mengalahkan calon petahana yang dikenal pro-pasar, Mauricio Macri. Kekalahan ini belum final karena puncak pemilu akan dilangsungkan 27 Oktober 2019. 
Namun atas hasil ini, nilai tukar peso Argentina ditutup melemah 15 persen di level 53,5 per dolar Amerika Serikat setelah anjlok sekitar 30 persen ke rekor terendah pada hari sebelumnya pascapemilihan. Tak hanya itu, saham-saham Argentina termasuk di antara yang membukukan penurunan terdalam pada indeks Nasdaq, dan indeks saham lokal Merval pun ditutup anjlok 31 persen. 
Bank Investasi asal Amerika Serikat, Morgan Stanley menurunkan rekomendasi untuk utang dan ekuitas Argentina dari "netral" menjadi "underweight" serta mengungkapkan perhitungan yang menunjukkan peso bisa jatuh 20 persen lebih dalam. Walhasil pada Selasa kemarin, 3 September 2019, Gubernur Bank Sentral Argentina Guido Sandleris diketahui tengah melakukan negosiasi dengan Dana Moneter Internasional atau IMF terkait dengan revisi target kebijakan moneter untuk September.
Lalu seperti apa dampaknya dan kinerja perdagangan dengan Indonesia selama ini? 
Dua hari setelah hasil pemilu pendahuluan Argentina keluar, Bank Indonesia atau BI rupanya langsung mengumumkan kebijakan intervensi di pasar spot dan pasar domestik mata uang valas berjangka (Domestic NDF) untuk menstabilkan nilai tukar rupiah yang terus terdepresiasi terhadap dolar AS. Depresiasi terjadi akibat sentimen pelaku pasar global setelah anjloknya nilai mata uang Peso Argentina.
"Kami melihat pasar terkejut terutama dengan peristiwa politik di Argentina," kata Direktur Eksekutif Kepala Departemen Pengelolaan Moneter BI Nanang Hendarsah kepada ANTARA di Jakarta, Selasa, 13 Agustus 2019. Namun, nilai tukar rupiah berdasarkan Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) masih menunjukkan rupiah stabil di level Rp 14.200 per dolar Amerika Serikat, sejak 11 Agustus 2019 hingga hari ini.
Di hari yang sama, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati juga berharap pelemahan peso Argentina tidak berdampak besar pada nilai tukar rupiah. Menurut dia, pelemahan peso disebabkan oleh kekalahan presiden petahana yakni Macri melawan Fernandez. "Itu berhubungan dengan ekspektasi dari market mengenai arah kebijakan ke depan, sehingga peso mengalami koreksi yang sangat dalam," kata Sri.
Sementara jika dilihat dari sisi perdagangan, Kementerian Perdagangan mencatat sepanjang 5 tahun, 2014-2018, perdagangan Indonesia selalu kalah dibandingkan dengan Argentina. Di tahun 2014, defisit neraca perdagangan Indonesia dengan Argentina mencapai US$ 1,2 miliar. Angka ini lebih dari separuh total defisit perdagangan Indonesia sepanjang tahun 2014 yang mencapai US$ 2,1 miliar.
Defisit perdagangan dengan Argentina ini sempat membaik di tahun 2017 dengan US$ 891 juta, namun kembali naik menjadi US$ 1,2 miliar di tahun 2018. Namun, kontribusinya pada keseluruhan defisit sepanjang 2018 yang sebesar US$ 8,6 miliar telah menurun. Dari semula 57 persen menjadi hanya 13,9 persen.
Sampai saat ini, belum ada keterangan lebih lanjut apakah situasi ekonomi di Argentina saat ini akan membuat defisit perdagangan ini akan semakin memburuk. Meski demikian, kondisi defisit ini telah disadari oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla sejak 7 Mei 2019, saat menerima kunjungan Gabriela Michetti di Istana Wapres, Jakarta. “Kita masih defisit karena masih membeli hasil pertanian dari Argentina,” kata dia.
Sumber:Tempo.co
Share:

Sebut Ekonomi Kebodohan, Ini 3 Kritik Prabowo soal Ekonomi

TEMPO.CO, Jakarta - Kritik calon presiden nomor urut 02, Prabowo Subianto terhadap calon presiden inkumben Joko Widodo atau Jokowi terkait isu ekonomi, semakin keras. Saat berpidato dalam Rapat Kerja Nasional Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII) di Pondok Pesantren Minhajurrosyidin di Pondok Gede, Jakarta pada Kamis, 11 Oktober 2018, kritik Prabowo semakin menggebu.
Prabowo menyebut sistem ekonomi di Indonesia saat ini tidak berjalan dengan benar. Prabowo juga menilai sistem ekonomi yang berjalan sudah lebih parah dari paham neoliberalisme yang dianut oleh Amerika Serikat. Sebab, kata dia, angka kesenjangan sosial masyarakat Indonesia semakin tinggi. Bahkan, ia menyebut Indonesia tengah mempraktikkan sistem ekonomi kebodohan.
"Ini menurut saya bukan ekonomi neoliberal lagi. Ini lebih parah dari neolib. Harus ada istilah, ini menurut saya ekonomi kebodohan. The economics of stupidity. Ini yang terjadi," ujar Prabowo dalam pidatonya di acara itu.
Berikut isu-isu ekonomi yang kerap dimainkan Prabowo menyerang pemerintah:
1. Utang pemerintah
Dalam berbagai kesempatan, Prabowo kerap mengatakan utang pemerintah terus naik Rp 1 triliun setiap hari. Padahal, kata Prabowo, seharusnya dengan sumber daya alam yang melimpah, ekonomi Indonesia bisa berdikari. "Dan yang menyedihkan banyak elite kita yang hidup dari utang itu biasa dan baik-baik saja. Mata uang merosot terus. Kalau merosot itu tandanya kita tambah miskin," ujar Prabowo.
Kritik Prabowo ini sebelumnya berkali-kali dibantah pemerintah maupun timses Jokowi. Menteri Keuangan Sri Mulyani misalnya, kerap menegaskan bahwa APBN Indonesia semakin sehat dan menunjukkan tren yang sangat positif. Realisasi pembiayaan utang juga mengalami pertumbuhan positif.
2. Sumber daya alam dikuasai asing
Prabowo kerap mengkritik sumber daya alam Indonesia yang kaya namun tidak bisa menyejahterakan masyarakatnya. "Semua kekayaan alam ada tetapi kita sebagai bangsa bisa dikatakan sekarang ini kita tekor sebagai bangsa. Jutaan hektar tanah kita dikuasai oleh perusahaan swasta, mereka bawa uangnya ke luar negeri," kata Prabowo.
Kritik ini juga selalu dibantah oleh kubu Jokowi. Menurut tim, selama ini Jokowi memiliki ketegasan untuk menjaga kekayaan alam. Salah satu ketegasan itu, terlihat dari upaya pemerintah mengambil alih 51 persen PT Freeport Indonesia.
3. Kemiskinan dan ketimpangan hidup masyarakat
Masalah ekonomi lainnya yang menjadi sorotan Prabowo adalah tingkat kemiskinan dan ketimpangan hidup masyarakat Indonesia. Prabowo mengatakan tingkat kemiskinan Indonesia semakin tinggi. Terlihat dari gini ratio indonesia sekarang berada di angka 45,4. Artinya, kata Prabowo, 1 persen rakyat Indonesia menguasai 45 persen kekayaan nasional.
Pernyataan itu juga dibantah kubu Jokowi. Kubu inkumben ini mengatakan, selama pemerintahan Jokowi, pertama dalam sejarah angka kemiskinan menembus di bawah satu digit, 9,84 persen. Data gini rasio alias ketimpangan ekonomi juga bernada positif. Selama periode September 2017 hingga Maret 2018, BPS mencatat gini rasio di Indonesia sebesar 0,389 persen.
Sumber:Tempo.co
Share:

Perry Warjiyo: Ada Lima Sumber Pertumbuhan Ekonomi Masa Depan

TEMPO.CO, Jakarta - Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo mengatakan ada lima sumber pertumbuhan ekonomi baru bagi Indonesia di masa depan.
"Pertama adalah infrastruktur, baik primer, sekunder, dan tersier," ujar Perry di Menara Kamar Dagang dan Industri Indonesia, Jakarta, Senin, 26 Agustus 2019. Ia mengatakan infrastruktur dapat mendorong kawasan industri dan kawasan pariwisata. Sehingga ia menyebut pemerintah bisa menyokong sektor tersebut dan menarik partisipasi dunia usaha, baik besar, menengah, atau kecil.
Sumber pertumbuhan ekonomi yang kedua, ujar Perry, adalah industri manufaktur. Karena itu, ia menyebut perlunya ada peningkatan investasi di industri ini. Adapun bidang yang bisa digeluti, anatra lain otomotif, garmen, makanan dan minuman, serta elektronik. Selain adanya investasi, hal yang perlu dilakukan adalah hilirisasi di berbagai daerah di Indonesia.
Berikutnya, kata Perry, sumber pertumbuhan lainnya adalah sektor pariwisata. Apalagi, saat ini Presiden sudah mengumumkan sejumlah wilayah yang akan diprioritaskan, seperti Yogyakarta, Labuan Bajo, Mandalika, Toba, dan Likupang. "Itu akan dikembangkan dan perlu dukungan dari pengusaha," tuturnya.
Sumber pertumbuhan keempat adalah ekonomi digital. Saat ini, Perry mengatakan Bank Indonesia sudah meluncurkan visi sistem pembayaran Indonesia 2025. 
Saat ini pun dunia usaha, perbankan, fintech akan mempercepat transisi sehingga tahun depan hanya akan ada satu Quick Response Indonesia Standard alias QRIS yang berlaku di Indonesia. Di samping itu, BI juga telah meluncurkan SKNBI yang lebih murah, cepat, dabesar guna mendorong startup dan dunia usaha digital. Ia pun berujar akan memikirkan langkah lain lagi untuk mendorong sektor tersebut.
Adapun sumber pertumbuhan kelima, tutur Perry, adalah perikanan. Pasalnya sektor ini cukup potensial dan masih bisa dikembangkan lagi guna menopang pertumbuhan ekonomi Indonesia. "Ke depan kita akan terus mencermati perang dagang antara AS dan Tiongkok, tapi kita harus bergerak mencari peluang baru untuk sumber pertumbuhan dan dorong investasi baik dalam dan luar negeri," kata Perry Warjiyo.
Sumber:Tempo.co
Share:

Masalah Pertanahan dalam Koridor Ekonomi

Eko Cahyono
Mantan Direktur Eksekutif Sajogyo Institute
Indonesia menjadi salah satu negara yang tak terhindar dari tren kebijakan pembangunan global model "koridor ekonomi"-bentuk kebijakan yang mengutamakan jaringan infrastruktur terintegrasi di sebuah kawasan geografi yang dirancang untuk mendorong pengembangan sumber-sumber ekonomi sebuah negara dan antar-bangsa. Salah satu promotor utamanya adalah Bank Pembangunan Asia, yang dicanangkan sejak 1988.
Debat teoretis gagasan ini bisa ditelusuri hingga ke simpul hulunya: "geografi ekonomi baru" (Krugman, 1991). Teori Krugman, peraih Hadiah Nobel Ekonomi pada 2008, dipandang mampu menggabungkan perdagangan internasional dan geografi ekonomi yang sering dianggap sebagai sub-disiplin ilmu yang terpisah.
Mantra suci koridor ekonomi adalah saling keterhubungan (interconnecting) dan saling terintegrasi (integrating) dengan meletakkan infrastruktur sebagai panglimanya. Namun kedua mantra itu bisa tidak manjur jika masih ada "sumbatan leher botol" yang belum dihilangkan, yaitu semua rumpun regulasi dan kebijakan yang menghambat investasi.
Koridor ekonomi beroperasi melalui tiga cara. Pertama, menggambar ulang peta dunia, lalu melengkapinya dengan beragam kebutuhan proyek-proyek infrastruktur pembangunan, dari jalur transportasi baru, kawasan kota-kota industri baru, hingga kawasan ekonomi khusus.
Kedua, kategorisasi "kelas" negara industri. Melalui analisis ilmiah tertentu, disusunlah kategori kelas negara-negara di dunia menuju tingkatan tangga pembangunan yang diidealkan para konsultan perancang pembangunan. Merujuk pada dokumen "New Development Strategies for ASEAN and East Asia and Quality of Infrastructure" (ERIA CDP, 2018), Indonesia dikategorikan (masih) di anak tangga under development before industrialization. Inilah basis rasionalisasi kehadiran proyek pembangunan, yakni untuk menaikkan negeri ini ke anak tangga kelas negara industri yang lebih tinggi.
Ketiga, paket kebijakan nasional untuk mengintegrasikan semua instrumen kebijakan, regulasi, dan keuangan. Contohnya, Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI), jalan tempuh (blueprint) kebijakan pembangunan nasional 2011-2025.
Hasil studi Sajogyo Institute (2014-2015) atas praktik kebijakan MP3EI secara ringkas menunjukkan sejumlah hal. Pertama, asumsi utama penyebab ekonomi Indonesia tertinggal adalah produksi sumber-sumber ekonomi nasional yang tersebar di banyak pulau belum terkoneksi dan terintegrasi secara nasional karena belum ada atau buruknya kualitas infrastruktur (darat, laut, dan udara). Maka, peta Indonesia habis dibagi menjadi enam koridor ekonomi. Dibuatlah peta baru penghubung antar-koridor dengan menegaskan infrastruktur sebagai jawabannya. Sayangnya, hal ini mengabaikan akar masalah ketimpangan dan ketidakadilan struktur agraria (kepemilikan, penguasaan, distribusi, dan akses) atas sumber-sumber agraria nasional. Jadi, pembangunan infrastruktur ini lebih melayani kebutuhannya siapa ketika sumber ekonomi perkebunan, pertambangan, kehutanan, perikanan, kelautan, dan pertanian lebih banyak dikuasai industri serta korporasi besar dan transnasional.
Kedua, proyek MP3EI memperburuk krisis sosial-ekologis dan konflik agraria di setiap koridornya. Bukan semata karena politik "percepatan" pembangunan infrastruktur yang kerap menabrak hak dan ruang hidup masyarakat lokal, adat, atau tempatan, kehadiran infrastruktur, pada banyak kasus, justru memicu pengerukan dan ekstraksi sumber daya alam yang lebih cepat dan mudah. Ketiga, dalam daftar panjang ragam aturan dan regulasi sebagai "sumbatan leher botol" MP3EI, pertanahan dan agraria termasuk kategori prioritas masalah karena akan menghambat investasi pendukung infrastruktur (Sajogyo Institute, 2014).
Maka, hadirnya Rancangan Undang-Undang (RUU) Pertanahan yang sedang diperdebatkan banyak pihak belakangan ini tidak bisa dibaca sebagai satu kebijakan yang berdiri sendiri. Sangat mungkin RUU itu merupakan bagian dari "paket kebijakan" lain yang terhubung dan terintegrasi satu dengan lainnya, seperti tujuan percepatan kebijakan Mega Infrastruktur, Kawasan Strategis Pariwisata Nasional; kawasan ekonomi khusus; kawasan mega industri; pengembangan properti dan pertumbuhan kota-kota baru; dan perluasan korporasi perkebunan, pertambangan, yang membutuhkan kemudahan dan kepastian soal lahan.
Untuk tujuan proyek pembangunan semacam ini, persoalan pertanahan dan agraria jelas menjadi "sumbatan leher botol". Prinsipnya, jika tak bisa dihilangkan, minimal "dilunakkan atau dibelokkan" dari mandat utamanya. Jadi, wajar jika dokumen RUU Pertanahan memuat agenda bank tanah serta kemudahan bagi investor, pemodal besar, dan pemilik hak guna usaha tapi mengabaikan ketimpangan dan konflik agraria struktural, mengabaikan hak ulayat, menjauh dan bertentangan dengan semangat Undang-Undang Pokok Agraria 1960 yang memandatkan reforma agraria sejati, dan seterusnya. (Koalisi Akademisi dan Masyarakat Sipil, 2019).
Jika pendulum tujuan akhirnya lebih kuat ke agenda "kontra" keadilan agraria dan kedaulatan rakyat atas ruang hidupnya, akan lebih baik jika RUU Pertanahan itu dibatalkan dari sekarang.
Sumber:Tempo.co
Share:

Pertumbuhan Ekonomi 2018 Terbaik Sejak 2014

TEMPO.CO, Jakarta - Badan Pusat Statistik menyebut pertumbuhan ekonomi Indonesia secara keseluruhan pada 2018 adalah sebesar 5,17 persen atau terbaik sejak lima tahun terakhir.
"Ini tren yang bagus, terbaik sejak 2014," ujar Kepala BPS Suhariyanto di Kantor BPS, Rabu, 6 Februari 2019.
Bila melihat tren sejak 2014, angka tersebut memang terbesar. Pada 2014, pertumbuhan ekonomi Indonesia adalah 5,01 persen, atau lebih rendah daripada 2013 yang sebesar 5,56 persen.
Angka pada 2014 bahkan sempat anjlok setahun setelahnya ke level 4,88 persen pada 2015. Setelah itu, tren pertumbuhan ekonomi Indonesia terus membaik menuju 5,03 persen pada 2016 dan 5,07 persen.
Tren pertumbuhan ekonomi terus membaik setelah menjejak 5,07 persen pada 2017 dan mencapai 5,17 persen pada 2018. "Dalam kondisi global yang tidak tentu arah dan harga komoditas yang fluktuatif, ini menggembirakan," ujar Suhariyanto.
Ia berharap pemerintah mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang lebih baik untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi tersebut.
Adapun pertumbuhan ekonomi pada triwulan IV 2018 adalah 5,18 persen dibandingkan dengan periode yang sama pada setahun sebelumnya. Sementara dibandingkan triwulan III 2019 pertumbuhannya -1,69 persen. "Memang pattern-nya selalu begitu untuk triwulanan."
Kendati pertumbuhan ekonomi mencapai 5,17 persen atau yang terbaik sejak 2014, nilai tersebut masih belum mencapai target. Pada APBN 2018, Indonesia mencanangkan asumsi dasar ekonomi berupa pertumbuhan ekonomi sebesar 5,4 persen.
Jika dilihat dari komponen pengeluaran, pertumbuhan ekonomi sepanjang 2018 menunjukkan kontribusi ekspor sebagai sumber pertumbuhan ekonomi yang negatif 0,99 persen. Namun jika dilihat dari pertumbuhan secara kumulatif pada 2018 dibandingkan 2017, maka ekspor tumbuh 6,48 persen.
Meski tumbuh, angka ekspor itu lebih rendah dibanding pertumbuhan impor yang melesat 12,04 persen. "Ekspor yang negatif ini menjadi faktor penurun dari laju pertumbuhan ekonomi," kata Suhariyanto.
Sementara ekonomi Indonesia pada 2018 paling banyak disokong konsumsi rumah tangga sebesar 2,74 persen. Adapun konsumsi rumah tangga telah pulih dan tumbuh sesuai trennya di 5,05 persen secara kumulatif pada 2018.
Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita menyebut pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2018 sebesar 5,17 persen mendapat apresiasi dari berbagai pihak. "Pertumbuhan ekonomi di tengah ketidakpastian growth 5,17 persen yang pasti mendapat apresiasi dari berbagai negara mitra, ketika dalam proses pembicaraan pembukaan yang mereka sampaikan yakni apresiasi," kata Enggartiasto.
Dengan capaian tersebut, Mendag menyatakan optimistis bahwa Indonesia mampu mencapai target pertumbuhan di 2019, yakni 5,3 persen.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution berujar pemerintah bakal bekerja keras untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi 2019, yaitu 5,3 persen. "Ekonomi dunia sedang tidak berfungsi dengan baik, apalagi ekspor kita," ujar Darmin.
Sumber:Tempo.co
Share:

Paradoks Ekonomi Pemberantasan Narkotik

Muhammad Hatta
Dokter Balai Rehabilitasi Badan Narkotika Nasional Baddoka Makassar
Survei penyalahgunaan narkotik yang dilakukan Badan Narkotika Nasional (BNN) pada 2017 menyatakan 3,3 juta penduduk Indonesia aktif memakai narkotik. Sepanjang 2018, BNN juga telah mengungkap 914 kasus penyalahgunaan narkotik dengan 1.355 tersangka. Data tersebut menunjukkan bahwa Indonesia masih menjadi wilayah sasaran jaringan peredaran narkotik internasional karena permintaan pasar yang amat tinggi.
Namun upaya pemberantasan melalui penangkapan dan pelarangan tersebut juga memunculkan sisi kelam yang disebut sebagai paradoks narkotik. Paradoks tersebut sangat mengkhawatirkan karena memperbesar masalah narkotik yang berwujud sebagai beban sosial-ekonomi yang kompleks (Marks, 2011). Tindakan pemberantasan juga mengakibatkan munculnya masalah ekonomi, yang disebut sebagai hydra effect, yaitu diversifikasi disertai intensifikasi jenis dan jumlah produk narkotik jika suatu produk tertentu diberangus (Tree, 2014).
Mounteney et al (2017) mengurai dua ciri khas paradoks pemberantasan narkotik. Pertama, globalisasi pasar methamphetamine (MDMA) melalui ekstensifikasi tempat-tempat produksi dan pemasaran masif lewat dunia maya. Sebuah laporan menyebutkan bahwa selain di Eropa Barat, MDMA mulai diproduksi secara ilegal di Kanada, Amerika Serikat, dan Cina dalam beberapa tahun terakhir (UNODC, 2015). Laporan lain menyebutkan MDMA menguasai 25 persen darknet (pasar gelap via Internet) dan merupakan produk kedua setelah mariyuana (ganja) yang paling laris (Ciancaglini et al, 2015). MDMA yang diperdagangkan via Internet tersebut sangat berbahaya karena memiliki kandungan yang lebih besar ketimbang produk MDMA yang diperdagangkan secara konvensional (Winstock, 2015).
Kedua, inovasi produsen dengan mengganti prekursor dan konten narkotik dengan kadar dan bahan baku yang lebih tinggi. Hal ini terbukti dengan ditemukannya bahan pentylone dan caffeine oleh Laboratorium BNN dari barang bukti jaringan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Langkat, Sumatera Utara. Bahan tersebut, khususnya pentylone, merupakan prekursor yang betul-betul baru masuk dan beredar di Indonesia.
Global Drug Survey 2015 menegaskan fenomena tersebut seraya menambahkan bahwa kadar dan kandungan yang diubah dapat berbeda di tiap negara. Di Belanda, kadar MDMA dalam blue ice, yang semula sebesar 50-80 miligram pada 2000-an, kini meningkat menjadi sekitar 300 miligram per tablet. Di Prancis, kadar tersebut juga melonjak, dari 204 miligram pada 2009 menjadi 325 miligram pada 2014 (EMCDDA, 2016).
Di hilir, paradoks narkotik bermuara pada kelebihan kapasitas penjara kita. Penjara yang total kapasitasnya 124 ribu orang telah disesaki oleh 248.516 narapidana, yang hampir setengahnya merupakan kasus yang berkaitan dengan penyalahgunaan narkotik (Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, 2019). Tak mengherankan jika 90 persen peredaran narkotik nasional dikendalikan dari dalam bui. Ironisnya, pemerintah berencana memindahkan 45 ribu napi narkotik ke pusat-pusat rehabilitasi tapi hanya mampu merehabilitasi 15-18 ribu per tahun (BNN, 2018).
Sebelum memindahkan napi narkotika, pemerintah harus mempermudah dan memperbanyak akses terhadap fasilitas rehabilitasi. Kewenangan rehabilitasi masih tumpang-tindih antara BNN, Kementerian Kesehatan, dan Kementerian Sosial. Borok tersebut terkuak dalam sebuah kajian Ombudsman pada 2017. Ombudsman merekomendasikan agar instansi-instansi tersebut melenyapkan ego sektoral dan bersatu-padu memberikan layanan yang lebih baik kepada masyarakat.
Keran aturan yang mengalirkan kasus yang berkaitan dengan narkotik ke dalam penjara mesti direvisi. Riset Institute for Criminal Justice Reform di Pengadilan Negeri Surabaya pada 2016 mengungkap 61 persen kasus yang berkaitan dengan narkotik diarahkan ke penjara akibat ketidakjelasan status bandar dan pengguna. Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak/Kewajiban Warga Binaan Pemasyarakatan pun mesti direvisi untuk mengurangi kelebihan warga binaan penjara.
Revisi Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika menjadi pilar utama pembendung paradoks ekonomi pemberantasan narkotik, terutama dalam penggolongan jenis narkotik. Selama ini, pihak berwenang untuk itu hanyalah Kementerian Kesehatan (Pasal 6), padahal ada banyak jenis narkotik baru (new psychoactive substances) yang juga ditemukan oleh Laboratorium BNN serta Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).
Pada 2018 saja, dari 739 narkotik baru yang dilaporkan World Drug Report 2018, BNN baru mengidentifikasi 74 jenis yang telah beredar di Indonesia. Dari jumlah tersebut, delapan jenis belum tercantum dalam aturan penggolongan terbaru Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 50 Tahun 2018 tentang Perubahan Penggolongan Narkotika. Sebagai langkah antisipasi, kewenangan penggolongan tersebut idealnya dibagi di antara tiga instansi pelat merah yang disebutkan sebelumnya.
Pada akhirnya, revisi aturan ihwal narkotik dan dukungan masyarakat luas secara terpadu menjadi kunci untuk membendung efek kelam paradoks pemberantasan narkotik.
Sumber:Tempo.co
Share:

Recent Posts